Thursday, September 20, 2012

Fw: [wp] Indonesian Police's Pot of Gold in Papua

Papua Tribesman
http://papuapost.com, http://www.infopapua.org,
http://westpapua.net, http://malanesianews.org
Mobile: +353(0)86374 6379, Fax: +353 404 46400
Mail: Papua Press Agency, International Desk,
c/o 54 Evora Park,HOWTH, Co. Dublin, Republic of Ireland
----- Forwarded Message -----
From: joe collins <seosamh20@hotmail.com>
To: "reg.westpapua@lists.riseup.net" <reg.westpapua@lists.riseup.net>
Sent: Thursday, September 20, 2012 6:23 PM
Subject: [wp] Indonesian Police's Pot of Gold in Papua

Indonesian Police's Pot of Gold in Papua
John McBeth - Straits Times | September 20, 2012

It is time for the critics to forget about the Indonesian military's businesses for a moment and look at the money-making ventures of the national police that assumed responsibility for Indonesia's internal security over a decade ago.

During that time, the police have taken over many of the privileges and patronage systems which formerly earned the military some of its off-budget income but without earning any of the public trust the military still retains to a large degree.

By failing to investigate police generals with million-dollar bank accounts and only reluctantly intervening in yet another open war with the Anti-Corruption Commission, President Susilo Bambang Yudhoyono appears to have defined the limits of the war on graft. Just as disturbing is a less documented development thousands of kilometers away in Papua, where the police have become the central player in the territory's lucrative artisanal gold-mining industry.

The police and the military initially shared the spoils of the $100 million-a-year panning operation in the river-borne rock waste from Freeport Indonesia's giant Grasberg copper and gold mine. Now the police are reportedly in total control.

Panners first appeared in the waste in 2004, at the same time the police took over guard duty at the mine, which had been the army's job since riots in 1996 led to the government throwing a security cordon around what it regards as a national asset.

For all the controversy that continues to surround the world's most profitable mine, there is a marginally effective government administration in the Mimika region where Freeport has made its home for the past four decades.

Not so in a remote corner of Paniai district, 100 km to the north-west. There, poorly trained local police are acting as a private security force for non-Papuan bosses controlling an alluvial gold rush along the Degeuwo River.

What has been called a struggle against separatist rebels is, in fact, mostly violence associated with 15,000 panners who in the mid-2000s began flooding into an area reachable only by helicopter or after a five-day trek from Enarotali, Paniai's capital.

The lack of genuine law enforcement means mercury is being used to separate the gold, causing serious health problems for the miners and their families, and poisoning the environment.

In the midst of all this is Australian company West Wits, working to establish a hydraulic alluvial operation along a stretch of the river where the miners have so far extracted 2,835 kg of gold, employing only primitive techniques. Apart from drilling farther afield for the hard rock source of the alluvial deposit, the firm plans to be producing 567 kg a year by 2014.

A new International Crisis Group report says police in neighboring Nabire restrict access to the Degeuwo workings. The police impose fees on the flow of goods and take protection money from the bars, karaoke joints and shops along the river.

The violence stems largely from the struggle for control of the trade and disputes with indigenous landowners who, on occasion, have sought help from ragtag Free Papua Movement (OPM) elements — even if they do engage in extortion and other criminal activity. OPM is a militant group coordinating the Papuan struggle against Indonesian rule.

That, in turn, has led to a disproportionate response called Operation Matoa, a major push against a handful of poorly armed rebels. Involving as many as 1,000 police and soldiers, some brought in from Jakarta and Jayapura, it saw over 10,000 ethnic Mee, Moni and Wolani tribesmen displaced. Only after a face-to-face meeting between President Yudhoyono and religious leaders was the operation called off last December.

Back in the New Order days, soldiers were often used to enforce land grabs by former president Suharto's grasping family members and his circle of business cronies across many parts of the country.

There are signs those days have returned. In April last year, police protecting a privately owned Lampung palm oil plantation were implicated in the deaths of seven local farmers, the latest victims in a long simmering land dispute dating back to 2009.

Last December, three people died and dozens more were wounded when police broke up a peaceful demonstration against the issuance of a mining exploration permit in Bima, West Nusa Tenggara.

In July this year, more than 100 police officers were questioned for their part in the fatal shooting of land rights protesters at a South Sumatra sugar plantation.

For a country rich in natural resources, all this is hardly surprising when market forces conspire to overpower the underfunded guiding hand of the state.
Reprinted courtesy of The Straits Times

rinted courtesy of The Straits Times

Posted via email from Sem Karoba's Posterous

Friday, September 7, 2012

Kampanye Papua Merdeka, IPWP dan ILWP

IPWP dan ILWP bukan Organisasian Perjuangan bangsa Papua, tetapi Wadah Pendamping Penyaluran Aspirasi dan Perjuangan Bangsa Papua

Source: https://www.facebook.com/notes/papua-merdeka-news/

Semenjak pendirian International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan kemudian International Lawyers for West Papua (ILWP), maka terpantul tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak yang mendukung Kampanye Papua Merdeka dan yang mengadu nasib dalam bingkai NKRI. Sejak penjajah menginjakkan kakinya di Tanah Papua, perbedaan dan pertentangan di antara orang Papua sendiri sudah ada. Yang kontra perjuangan Papua Merdeka menghendaki "Tanah Papua menjadi Zona Damai" dengan berbagai embel-embel seolah-olah mau mendengarkan dan menghargai aspirasi bangsa Papua. Sementara yang memperjuangkan kemerdekaannya menentang segala macam kebijakan Jakarta dengan semua alasan yang dimilikinya.

Baik IPWP maupun ILWP hadir sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi yang disampaikan para penyambung lidah bangsa Papua, yang telah lama dinanti-nantikan oleh bangsa Papua. Sudah banyak kali aspirasi bangsa Papua disampaikan, bahkan dengan resiko pertaruhan nyawapun telah dilakukan tanpa hentinya, dari generas ke generasi, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat di muka Bumi. IPWP dan ILWP ialah organisasi asing, wadah yang didirikan oleh para pemerhati HAM, politisi dan pengacara serta aktivis bidang hukum dan politik yang tentu saja tidak didasarkan kepada sentimen apapun dan juga tidak karena perasaan ataupun belas-kasihan terhadap apa yang terjadi.

Alasan utama keberpihakan masyarakat internasional terhadap nasib dan perjuangan bangsa Papua ialah "KEBENARAN YANG DIPALSUKAN", dimanipulasi dan direkayasa, terlepas dari untuk apa ada pemalsuan ataupun manipulasi dilakukan antara NKRI-Belanda dan Amerika Serikat berdasarkan "The Bunker's Plan". Saat siapapun berdiri di atas KEBENARAN, maka sebenarnya orang Papua sendiri tidak perlu mendesak atau mengemis kepadanya untuk bertindak. Sebab di dalam lubuk hati, di dalam jiwa sana, setiap orang pasti memiliki nurani yang tak pernah berbohong, dan memusuhi serta terus berperang melawan tipu-daya dan kemunafikan. Nurani itulah yang berdiri menantang tipu-muslihat atas nama apapun juga sepanjang ada lanjutan cerita sebuah peristiwa yang memalangkan nasib manusia.

Mereka tahu bahwa ada yang "salah",  "mengapa ada kesalahan", "bagaimana kesalahan itu bermula dan berakhir", dan "siapa yang bersalah". Mereka paham benar ada "penipuan", "manipulasi",  dan "rekayasa" dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Irian Barat, yang dilakukan oleh negara-negara yang konon menyodorkan dirinya sebagai pemenang HAM, demokrasi dan penegakkan supremasi hukum. Apalagi pelaksana dan penanggungjawab kecelakaan sejarah itu ialah badan semua umat manusia di dunia bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di satu sisi kita pahami jelas tanpa harus ada penafsiran hukum ataupun penjelasan pakar untuk menjelaskan apakah Pepera 1969 telah berlangsung demokratis atau tidak. Itu fakta, dan itulah KEBENARAN.

Karenanya, biarpun seandainya semua orang Papua ingin tinggal di dalam Bingkai NKRI, biarpun tidak ada orang Papua yang menuntut Papua Merdeka dengan alasan ketidak-absahan Pepera 1969, biarpun dunia menilai NKRI telah berjasa besar dalam membangun tanah dan masyarakat Papua selama pendudukannya sejak 1 Mei 1963, biarpun rakyat Papua memaksa masyarakat internasional menutup mata terhadap manipulasi Pepera 1969, biarpun begitu, fakta sejarah dan Kebenaran kasus hukum, HAM dan Demokrasi dalam implementasi Pepera 1969 tidak dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak pernah terjadi. Kepentingan pengungkapan kebenaran ini bukan hanya untuk bangsa Papua, tetapi terutama untuk memperbaiki reputasi PBB sebagai lembaga kemanusiaan dan keamanan tertinggi di dunia sehingga tetap menjadi lembaga kredibel dalam penanganan kasus-kasus kemanusiaan dan keamanan serta perdamaian dunia, di samping kepentingan bangsa-bangsa lain yang mengalami nasib serupa. Maka kalau dalam sejarahnya PBB pernah bersalah dan kesalahannya itu berdampak terhadap manusia dan kemanusiaan bangsa-bangsa di dunia, maka PBB tidak boleh tinggal diam. Demikian pula dengan para anggotanya tidak bisa menganggap sebuah sejarah yang salah sebagai suatu fakta yang harus diterima hari ini. Ini penting karena kita sebagai umat manusia dalam peradaban modern ini menjuluki diri sebagai manusia beradab, berbudhi luhur dan bermartabat. Martabat kemanusiaan kita dipertaruhkan dengan mengungkap kesalahan-kesalahan silam yang fatal dan berakibat menyengsarakan nasib suku-suku bangsa manusia di muka Bumi.

ILWP secara khusus tidak harus berpihak kepada bangsa Papua dan perjuangannya. Ia lebih berpihak kepada KEBENARAN, kebenaran bahwa ada pelanggaran HAM, pengebirian prinsip demokrasi universal dan skandal hukum dalam pelaksanaan Pepera 1969. Untuk mengimbangi ketidak-berpihakan itu maka diperlukan IPWP yang secara khusus menyoroti aspirasi politik bangsa Papua yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana selalu dikumandangkan dan diundangkan dalam berbagai produk hukum internasional maupun nasional di muka Bumi.

Dalam perjalanannya, ILWP tidak harus secara organisasi dan kampanyenya mendukung Papua Merdeka karena ia berdiri untuk menelaah dan mengungkap skandal hukum dan pengebirian prinsip demokrasi universal serta pelanggaran HAM yang terjadi serta dilakukan oleh PBB serta negara-negara anggotanya. Ini sebuah pekerjaan berat, universal dan bertujuan untuk memperbaiki nama-baik PBB dan para anggotanya, bukan sekedar mengusik masalalu yang telah dikubur dalam rangka mendukung Papua Merdeka.

Sementara itu IPWP bertindak sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi bangsa Papua dalam rangka pendidikan dan pembelajaran terhadap masyarakat internasional tentang kasus dan perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat di luar NKRI. IPWP tidak serta-merta dan membabi-buta mendukung Papua Merdeka oleh karena sogokan ataupun berdasarkan pandangan politik tertentu. Ia berpihak kepada KEBENARAN pula, tetapi dalam hal ini kebenaran yang ditampilkan dan dipertanggungjawabkan oleh bangsa Papua. Dalam hal ini NKRI juga berpeluang besar dan wajib mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya di pentas politik dan diplomasi global tanpa harus merasa risau, gelisah dan geram atas aspirasi bangsa Papua. NKRI haruslah "gentlemen" tampil dan menyatakan kleim-kleim-nya secara bermartabat dan bertanggungjawab sebagai sebuah negara-bangsa modern, bukan sebagai negara barbarik dan nasionalis membabi-buta.

IPWP tidak hanya beranggotakan orang-orang pendukung Papua Merdeka, tetapi siapapun yang saat ini menjabat sebagai anggota parlemen di negara manapun berhak mendaftarkan diri untuk terlibat dalam debat dan expose terbuka, demokratis dan bertanggungjawab. IPWP bukan organisasi perjuangan bangsa Papua, tetapi ia berdiri sebagai pendamping dan pemagar sehingga tidak ada pihak-pihak penipu dan penjajah yang memanipulasi sejarah.

Point terakhir, pembentukan IPWP dan ILWP bukanlah sebuah rekayasa politik, karena rekayasa selalu ditopang oleh kekuatan dan kekuasaan. Ia dibentuk oleh kekuatan KEBENARAN MUTLAK, fakta sejarah, dan realitas kehidupan masakini yang bertolak-belakang dengan cita-cita perjuangan proyek Pencerahan di era pertengahan. Ia kelanjutan dari proyek besar modernisasi yang mengedepankan HAM, penegakkan supremasi hukum dan demokrasi. Sejalan dengan itu, para anggota Parlemen yang telah mendaftarkan dirinya, membentuk IPWP dan mengkampanyekan aspirasi bangsa Papua melakukannya oleh karena KEYAKINAN yang kuat bahwa Pepera 1969 di Irian Barat cacat secara hukum, HAM dan demokrasi, serta tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka bukan mempertaruhkan karier politik, nama baik, jabatan sebagai anggota Parlemen dan kepentingan negara mereka tanpa dasar pemikiran dan pemahaman serta pengetahuan tentang KEBENARAN itu secara tepat. Mereka bukan orang yang mudah dibeli dengan sepeser rupiah. Mereka juga tidak dapat diajak kong-kalingkong hanya untuk kepentingan sesaat. Mereka berdiri karena dan untuk KEBENARAN! Dan Kebenaran itu tidak pernah terkalahkan oleh siapapun, kapanpun, di manapun dan bagaimanapun juga.